Berita

Arti Lebaran, Ketupat dan Tradisi yang Menyertainya

0

Kerjha ― Idulfitri merupakan momen besar bagi umat Islam di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia, Idulfitri dikenal juga dengan sebutan Lebaran.

Momen ini selalu identik dengan kembali ke fitrah dan saling memaafkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Lebaran adalah hari raya umat Islam yang jatuh pada 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan.

Istilah Lebaran sendiri tak lepas dari ketika Islam pertama kali masuk ke Indonesia. Lebaran menjadi bagian dari tradisi dan budaya masyarakat, khususnya di Pulau Jawa. Asal usul kata Lebaran memiliki ragam versi. Dalam bahasa Jawa, Lebaran berasal dari kata “wis bar” atau sudah selesai. Bar merupakan bentuk pendek dari kata “lebar” yang berarti selesai. Lebaran dimaknai sebagai selesainya bulan puasa dan disambutnya hari kemenangan.

Dalam versi lain, masih berasal dari budaya Jawa, Lebaran dimaknai sebagai lebar-lebur-luber-labur. Lebar artinya telah menyelesaikan puasa, lebur berarti terhapus semua dosa yang dilakukan di masa lalu, luber berarti pahala, keberkahan, serta rahmat Allah SWT melimpah dan labur artinya bersih wajah dan hatinya.

Istilah Lebaran juga banyak digunakan untuk orang Betawi. Menurut mereka, lebaran berasal dari kata lebar yang dimaknai sebagai keluasan atau kelegaan hati umat Islam setelah sebulan berpuasa. Lebaran juga dimaknai sebagai kegembiraan menyambut hari kemenangan.

Ada beragam tradisi yang mengiringi momen Lebaran, di antaranya adalah mudik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mudik bisa berarti berlayar atau pergi ke udik (hulu sungai) dan juga berarti pulang ke kampung halaman. Para pemudik adalah mereka yang hijrah ke kota, daerah lain, bahkan negara lain, kemudian pulang ke kampung halaman untuk bertemu kembali dengan keluarga, sanak saudara, kerabat, dan sahabat.

Tradisi lainnya adalah takbiran, yakni melantunkan takbir pada malam sebelum Idulfitri. Biasanya dilakukan dengan membunyikan bedug atau berkeliling kota. Sayangnya, dua tahun terakhr Lebaran kali ini, berlangsung di tengah suasana pandemi, sehingga pemerintah menganjurkan untuk melakukan pembatasan. Mulai dari larangan untuk mudik, juga imbauan untuk tidak melakukan takbir keliling. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah persebaran Covid-19. Tentu, hikmat Lebaran tak akan berkurang meski dilakukan di tengah keterbasan.

Yang tak boleh absen dari Lebaran adalah sajian ketupat, yang disajikan lengkap dengan aneka menu pendamping seperti opor ayam, sayur godog dan sambal goreng kentang.

Bagaimana sejarah ketupat? Awalnya, ketupat bukan tradisi yang identik dengan Islam maupun Lebaran. Ketupat sudah ada pada masa pra-Islam dan tersebar di wilayah hampir di Asia Tenggara dengan nama yang berbeda-beda.

Jika kemudian ketupat menjadi identik dengan Lebaran, itu tak lepas dari pengaruh Sunan Kalijaga. Pada abad ke-15, Kanjeng Sunan Kalijaga menjadikan ketupat sebagai salah satu simbol untuk perayaan Hari Raya Idulfitri umat Islam sejak pemerintahan Demak di bawah kepemimpinan Raden Patah.

Sunan Kalijaga membudayakan dua kali bakda, yaitu bakda Lebaran dan bakda Kupat. Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah Lebaran. Pada hari yang disebut bakda Kupat tersebut, di tanah Jawa waktu itu hampir setiap rumah terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa muda. Selesai dianyam, ketupat diisi dengan beras kemudian dimasak lalu diantarkan ke kerabat yang lebih tua, sebagai lambang kebersamaan.

Di Jawa dan Sunda menyebut ketupat dengan kupat. Di Melayu, sebutannya ketupat sementara di Bali disebut dengan tipat.

Ketupat sendiri juga memiliki makna, yaitu “ngaku lepat” yang berarti mengakui segala kesalahan. Ngaku lepat kepada setiap orang dengan bersilaturahmi dan saling memaafkan. Dengan mengakui kesalahan dan meminta maaf maka persaudaraan akan terjalin menjadi lebih baik

Selamat Idulfitri 1442 Hijriah. (MET)

Tulisan Terkait

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *