Headline

Imbalan Sesuai Beban dan Risiko

0

Kerjha ― Membahas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah topik yang selalu hangat untuk menjadi bahan diskusi. Tak sedikit yang mempertanyakan, bagaimana kontribusi BUMN dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Ada pula yang mengritisi kinerja BUMN, dibandingkan dengan penghasilan manajemennya.

Mengritik adalah hal lumrah, dan itu bukan masalah. Yang jadi masalah adalah jika kritik yang disampaikan dikemas menggunakan data valid―merujuk data bersifat publik―namun pengolahan narasi yang dilakukan tidak mendalam dan tendensius. Sekadar ingin membentuk opini publik dan mendapat ikon “like” di media sosial sebanyak-banyaknya.

Salah satunya adalah kritikan terhadap penghasilan pimpinan sebuah BUMN. Biar gampang, kita ambil contoh Bank Mandiri. Seorang public figure telah memaparkan data penghasilan manajemen Bank Mandiri, yang menurutnya mencapai angka triliunan rupiah dalam setahun. Mungkin tidak mau ribet, angka sebesar itu langsung dibagi ke jumlah direksi dan komisaris bank milik pemerintah tersebut. Fakta itu, masih dibumbui dengan narasi bahwa manajemen bank tersebut tidak terimbas pandemi, yang notabene telah menganggu perekonomian nasional.

Bagi masyarakat awam, terutama yang bersumbu pendek, angka sebesar itu tentu dianggap sebagai angka bombastis. Tanpa butuh waktu lama, komentar dan reply atau bahkan ikon jempol sebagai tanda suka atas postingan tersebut akan segera bermunculan. Padahal, jika sebentar saja mau melakukan pengecekan dan analisa mendalam, angka-angka yang ditampilkan itu sebenarnya biasa saja. Bahkan, terlalu biasa untuk dikritik.

Kita bahas satu persatu, yuk. Dari sisi angka penghasilan, berdasarkan laporan Bank Mandiri 2020, tercantum penghasilan manajemen mencapai Rp 1,4 triliun. Tapi harap dicatat, jumlah sebesar itu bukanlah penghasilan direksi dan komisaris Bank Mandiri semata. Penghasilan sebesar itu, mencakup seluruh pimpinan manajemen, baik di Bank Mandiri sebagai induk usaha sampai ke anak usaha alias Mandiri Group. Perlu diketahui, Bank Mandiri sebagai induk usaha memiliki 11 entitas anak usaha.

Selain itu, penghasilan tersebut turut memperhitungkan sejumlah karyawan yang berada satu sampai dua level di bawah direksi. Biar lebih detil, total direksi Bank Mandiri mencapai 12 orang, dengan jumlah komisaris sebanyak 10 orang. Lantas jumlah pejabat di bawah direksi selevel SEVP mencapai lima orang. Begitu pula total direksi di 11 anak usaha mencapai 46 orang, plus ditambah komisaris sebanyak 44 orang. Total jenderal, ada sekitar 117 orang.

Jumlah itu pun masih belum termasuk pejabat selevel SVP, komite audit, komite pemantau risiko dan Dewan Pengawas Syariah di Mandiri Group, yang totalnya mencapai 130 orang. Mudah saja jika langsung dihitung secara kasar, maka masing-masing pejabat hanya mendapat penghasilan sekitar Rp 5,5 miliar setahun, atau kurang dari Rp 500 juta sebulan. Angka ini jauh di bawah dari angka yang dituduhkan oleh sang kritikus. Namun, itu belum selesai. Masih adalagi yang perlu dipahami oleh publik, mengapa penghasilan sebesar itu sebenarnya biasa saja. Bahkan, jika dibandingkan dengan penghasilan para eksekutif perusahaan swasta, baik lokal dan global, yang asetnya selevel dengan Bank Mandiri Group.

Apa sih yang membedakan antara perusahaan BUMN dengan perusahaan swasta? Perusahaan swasta, 100 persen pengelolaan bisnisnya terutama ditujukan untuk mendapatkan profit. Istilah yang sering muncul adalah: Making Profit, Profit, Profit. Hal itu yang menjadi perbedaan paling besar dan mendasar. Karena hal tersebut tidak berlaku di BUMN. Sesuai khittahnya, selain dituntut mencari untung, manajemen BUMN juga mengemban “tugas negara” dengan masuk ke bisnis yang tingkat risiko kerugiannya jauh lebih besar ketimbang mendapat profit alias laba.

Sesimpel untuk mendukung pelaku usaha mikro maupun UMKM yang belum bankable dan core bisnisnya rentan diduplikasi oleh perusahaan swasta bermodal besar. Bank Mandiri tetap memberikan dukungan finansial terhadap mereka, bahkan sampai membentuk sebuah system environment yang mendukung bisnis pelaku usaha mikro. Bersama BUMN lainnya, membentuk Rumah Kreatif yang menjadi induk semang sekaligus menjadi akses berjualan pelaku mikro di daerah-daerah.

Selain itu, saat ini sedang ngetren Bank Digital. Asing ramai-ramai akuisisi bank BUKU I dan II, dan diubah platform bisnisnya menjadi Bank Digital, sehingga tidak menuntut mereka untuk membuka cabang di wilayah remote, yang sebagian besar berada di kawasan Indonesia timur. Sementara, bank BUMN sebagai agen pembangunan dan kepanjangan tangan pemerintah untuk mendukung pemerataan ekonomi, mau tak mau harus hadir secara fisik di kawasan tersebut. Hal itu tentunya membuat biaya yang ditanggung bank BUMN menjadi lebih besar ketimbang bank swasta.

Jangan lupa bank BUMN itu punya banyak pengawas yang siap memelototi operasional dan setiap aksi korporasinya. Ada OJK, ada BI, ada BPKP, ada BPK, ada KPK, ada Kejaksaan, ada Kepolisian, ada PPATK, ada Bursa Efek Indonesia, lalu masih ada lembaga-lembaga negara hingga LSM. Artinya, risiko seorang bankir BUMN sangat tinggi. Setiap kesalahan pengambilan keputusan bisa berkonsekuensi hukum.

Semua itu masih belum termasuk “kewajiban” melakukan kegiatan bersifat sosial seperti Community Development, maupun Corporate Social Responsibilities. Hal itu sudah bukan lagi berstatus sumbangan atau menyisihkan bujet semata, melainkan telah menjadi bagian dari proses bisnis, alias sudah mandarah daging pada spirit manajemen dalam mengelola usaha.

Begitu pula dalam konteks pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang dicanangkan pemerintah, sebagai upaya memulihkan pelaku usaha sektor riil yang terkena imbas pandemi Covid-19. Bank BUMN, terutama Bank Mandiri, menjadi garda terdepan dalam memberikan keringanan kepada para debiturnya, terutama pelaku usaha mikro dan UMKM. Mulai dari restrukturisasi kredit dengan memperpanjang tenor pembayaran, diskon bunga, sampai menghapusbukukan kredit para debitur yang benar-benar dinilai tak mampu lagi menjalankan roda usahanya.

Bank Mandiri bahkan sampai me-leverage alias menambah plafon pencairan kredit berbunga ringan dalam mendukung program PEN. Hingga akhir 2020, Bank Mandiri telah menyalurkan kredit sebesar Rp 66,6 triliun. Jumlah itu lebih besar empat kali lipat, dibanding dana penempatan pemerintah di Bank Mandiri dalam konteks PEN yang hanya sebesar Rp 15 triliun. Komitmen mendukung pemulihan ekonomi nasional yang dimiliki manajemen Bank Mandiri Group, tidak main-main. Bank berlogo pita kuning itu sangat serius mendukung pemulihan ekonomi nasional, di saat bank lain justru mengerem pencairan kreditnya, karena masih menganggap situasi belum kondusif.

Semua itu tentu butuh pemikiran yang komprehensif, dan biaya yang tidak sedikit. Bahkan, restrukturisasi kredit pelaku mikro dan UMKM sudah pasti menggerus laba yang seharusnya diterima oleh perusahaan BUMN. Apakah para pemimpin BUMN bisa memprotes semua “tugas negara” itu? Nyaris tak ada yang muncul berita di media soal itu. Yang ada, justru semua perusahaan BUMN bergerak serempak-seirama saling bersinergi dan membantu untuk bisa memulihkan ekonomi nasional.

Lantas, masihkah menarik untuk membahas penghasilan para pemimpin perusahaan BUMN yang notabene sudah mencurahkan seluruh dedikasinya untuk mendukung perekonomian nasional, membangkitkan ekonomi kerakyatan, melakukan berbagai kegiatan sosial untuk pengembangan dan penguatan kapabilitas masyarakat di daerah terpencil, sampai menghapus potensi laba demi mendukung perekonomian nasional?

Mungkin bisa ditanya kepada sang kritikus, apa motif sesungguhnya di balik postingannya yang mengritisi penghasilan direksi bank BUMN. Sekadar mencari sensasi, menambah follower atau ada pesanan dari pihak tertentu? Wallahualambissawab.

 

Tulisan Terkait

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *