Headline

Koalisi Masyarakat Desak Jokowi Batalkan Pangkat Kehormatan Prabowo

0

Kerjha — Koalisi Masyarakat Sipil yang berisikan 20 organisasi dan lembaga mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) membatalkan pemberian pangkat kehormatan jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Penyematan pangkat tersebut dilakukan Jokowi, Rabu (28/2).

Dalam pernyataannya, Koalisi Masyarakat Sipil mengecam pemberian kenaikan pangkat kehormatan jenderal bintang empat untuk Prabowo Subianto. Selain tidak tepat, pemberian pangkat itu dinilai melukai perasaan korban, keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan mengkhianati semangat reformasi 1998.

“Pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo Subianto merupakan langkah keliru. Gelar ini tidak pantas diberikan mengingat yang bersangkutan memiliki rekam jejak buruk dalam karier militer, khususnya berkaitan dengan keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu. Pemberian gelar tersebut lebih merupakan langkah politik transaksi elektoral dari Presiden Jokowi yang menganulir keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu,” tegas Koalisi Masyarakat Sipil dalam pernyataannya, Rabu (28/2).

Seperti diketahui, Kementerian Pertahanan menyebut alasan pemberian tanda kehormatan tersebut karena dedikasi serta kontribusi Prabowo Subianto yang telah diakui dalam dunia militer.

Mabes TNI dikabarkan merupakan pengusul pemberian jenderal penuh untuk Prabowo Subianto dan diklaim telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.

Gelar serupa pernah disematkan kepada sejumlah purnawirawan TNI yang sempat menjabat menteri. Mulai dari Susilo Bambang Yudhoyono, Luhut Binsar Pandjaitan, Agum Gumelar, A.M. Hendropriyono, hingga Sarwo Edhie Wibowo.

Koalisi Masyarakat Sipil mengingatkan bahwa berdasarkan Keputusan Dewan Kehormatan Perwira Nomor: KEP/03/VIII/1998/DKP, Prabowo Subianto telah ditetapkan bersalah dan terbukti melakukan beberapa penyimpangan dan kesalahan, termasuk melakukan penculikan terhadap aktivis pro demokrasi pada 1998.

Berdasarkan surat keputusan itu, Prabowo Subianto kemudian dijatuhkan hukuman berupa diberhentikan dari dinas keprajuritan.

Pemberian pangkat kehormatan terhadap seseorang yang telah dipecat secara tidak hormat, dinilai Koalisi telah mencederai nilai-nilai profesionalisme dan patriotisme dalam tubuh TNI.

“Selain itu, apresiasi berupa pemberian kenaikan pangkat kehormatan ini pun justru bertentangan dengan janji Presiden Joko Widodo dalam Nawacitanya untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran berat HAM di Indonesia sejak kampanye pemilu 2014 lalu,” tegas Koalisi.

Terlebih, pada 11 Januari 2023, Jokowi juga telah memberikan pidato pengakuan dan penyesalan atas 12 kasus pelanggaran HAM berat, salah satunya kasus penculikan dan penghilangan paksa yang ditetapkan Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat sejak 2006.

Dengan demikian, hal ini harusnya beriringan dengan konsistensi, komitmen, dan langkah nyata dari pemerintah untuk mengusut tuntas kasus ini dan mengadili para pelaku. Bukan malah melindungi mereka dengan tembok impunitas dan memberikan kedudukan istimewa dalam tatanan pemerintahan.

Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan, pemberian gelar kehormatan kepada Prabowo Subianto juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap gerakan reformasi 1998.

“Kebebasan yang kita nikmati hari ini merupakan buah perjuangan para martir dari gerakan reformasi 1998. Bagaimana mungkin, mereka yang dulu ditumbangkan oleh gerakan reformasi 1998, justru diberikan penghargaan,” lanjut pernyataan itu.

Ditegaskan Koalisi, Prabowo Subianto belum pernah diadili atas tuduhan kejahatan yang dia lakukan, sehingga masih masuk dalam daftar hitam pelaku kejahatan kemanusiaan.

“Jadi, nama Prabowo Subianto masih masuk dalam daftar hitam terduga pelaku kejahatan kemanusiaan karena belum pernah diputihkan atau dibersihkan melalui sidang pengadilan terbuka melalui Pengadilan HAM Ad Hoc yang digelar untuk mengadili kasus penculikan dan penghilangan aktivis 1997-1998,” ungkap mereka.

Koalisi memaparkan, serangkaian tindakan Jokowi yang kerap kali memberikan apresiasi dan karpet merah bagi terduga pelaku kejahatan HAM di Indonesia justru turut memperkuat impunitas.

Hal ini kembali menunjukan human rights vetting mechanism tidak pernah dijalankan secara serius dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia.

Padahal, memeriksa latar belakang atau rekam jejak personel yang akan menduduki jabatan-jabatan publik atau yang disebut juga vetting mechanism, merupakan elemen kunci dari reformasi sektor keamanan yang efektif. Namun hal ini tidak pernah berjalan sejak Indonesia bertransisi dari kepemimpinan otoriter ke demokrasi dan supremasi sipil pada 1998.

Koalisi mengungkapkan soft law internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yakni dalam Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights Through Action to Combat Impunity pada Februari 2005 (Rangkaian Prinsip yang Diperbarui untuk Perlindungan dan Promosi HAM Melalui Tindakan Memerangi Impunitas).

Dalam Prinsip 36 menyebutkan, public officials and employees who are personally responsible for gross violations of human rights, in particular those involved in military, security, police, intelligence, and judicial sectors, shall not continue to serve in state institutions.

“Artinya, pejabat dan pegawai publik yang secara pribadi bertanggung jawab atas pelanggaran berat HAM, khususnya yang terlibat di bidang militer, keamanan, polisi, intelijen, dan peradilan, tidak boleh terus bertugas di lembaga negara,” sebut Koalisi.

Lebih dari itu, lanjutnya, pemberian gelar kehormatan terhadap Prabowo Subianto jelas-jelas akan merusak nama baik institusi TNI. Bagaimana mungkin orang yang diberhentikan oleh TNI pada masa lalu karena terlibat atau bertanggung jawab dalam kejahatan kemanusiaan, justru diberi gelar kehormatan.

Hal ini berarti Jokowi telah memaksa institusi TNI untuk mengubah keputusan mereka sendiri demi kepentingan politik keluarganya.

“Presiden Jokowi tidak hanya mempolitisasi TNI, melainkan meruntuhkan marwah dan martabat TNI yang telah dibangun oleh banyak prajurit dengan darah dan air mata. Kami memandang sudah seyogyanya TNI tidak ditarik-tarik dan dilibatkan dalam cawe-cawe politik praktis dengan melantik seorang jenderal pelanggar HAM dengan pangkat kehormatan,” sebut Koalisi.

Koalisi Masyarakat Sipil juga mengingatkan agar alat pertahanan keamanan negara seperti TNI dan Polri untuk tetap netral dan tidak berpihak dalam aras politik apapun. M

Dengan pemberian gelar tersebut, maka tindakan kejahatan yang dilakukan atau melibatkan prajurit militer akan dianggap sebagai hal “normal” karena terduga pelakunya alih-alih diproses hukum tapi justru diberi gelar jenderal kehormatan.

Koalisi Masyarakat Sipil pun menyampaikan lima butir desakan.

Pertama, meminta Presiden Jokowi membatalkan rencana pemberian pangkat kehormatan terhadap Prabowo Subianto yang diduga terlibat dalam kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998.

Kedua, mendesak Komnas HAM mengusut secara serius kasus kejahatan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan memanggil serta memeriksa Prabowo Subianto atas keterlibatannya dalam kasus penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998.

Ketiga, mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk segera melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus pelanggaran HAM berat, dalam hal ini kasus penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998.

Keempat, pemerintah, dalam hal ini presiden beserta jajarannya, harus menjalankan rekomendasi DPR RI pada 2009 yakni membentuk pengadilan HAM Ad Hoc, mencari 13 orang korban penculikan yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang, dan meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.

Kelima, TNI-POLRI harus menjaga netralitas dan tidak terlibat dalam aktivitas politik.

Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Imparsial,
Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (Ikohi), Asia Justice and Rights (AJAR), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), ELSAM, HRWG, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), serta
Centra Initiative.

Selain itu juga terdapat Lokataru Foundation, Amnesty International Indonesia, Public Virtue, Setara Institute, Migrant Care, The Institute for Ecosoc Rights, Greenpeace Indonesia, Public Interest Lawyer Network (Pil-NET Indonesia), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Banten (LBH Keadilan), dan Lembaga Pengembangan Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPSHAM).

Tulisan Terkait

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *