Headline

Mahfud: Pemilu 2024 Terburuk

0

Kerjha — Calon wakil presiden, Mahfud Md menegaskan pemilihan umum (pemilu) 2024 merupakan yang terburuk. Ia secara tegas mengungkapkan telah terjadi kecurangan pada pemilu 2024.

Mahfud mengaku sudah 12 kali mengikuti pemilu, namun pemilu 2024 adalah yang terburuk. Ia sudah mengantongi bukti kecurangan itu dan akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika kecurangan bisa dibuktikan, MK dapat membatalkan hasil pemilu 2024.

Ada beberapa faktor yang membuat Pemilu 2024 sebagai pemilu terburuk, di antaranya politik gentong babi dan politik kerah. Politik gentong babi terkait bantuan sosial (bansos) yang digulirkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang pemilihan presiden (pilpres), 14 Februari 2024.

Ketua MK.periode 2008-2013 itu membandingkan jumlah bansos yang dialokasikan pada pemilu di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan era Jokowi. Pada era Jokowi, untuk tahun 2024 anggaran bansos senilai Rp 496 triliun. Jumlah ini bertambah Rp 20 triliun dibanding 2023.

Mahfud mengungkapkan, nilai bansos mengalami penambahan di tengah jalan.
Sementara itu, pada pemilu 2019 saat SBY sebagai petahana, dana bansos yang digelontorkan Rp 17 triliun. Dana bansos itu sudah dianggarkan atau tidak ada penambahan menjelang pilpres.

“Saya ikut pemilu era SBY. Anggaran bansos Rp 17 triliun dan sudah ada sebelumnya, tidak ditambah menjelang pemilu seperti sekarang sebesar Rp 496 triliun dan ditambah di tengah jalan,” kata Mahfud dikutip dari kanal YouTube Bachtiar Nasir, Kamis (7/3).

Diketahui, politik gentong babi ramai dibicarakan sejak pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyampaikan hal itu di film dokumenter Dirty Vote yang mengungkap kecurangan terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) pada penyelenggaraan pemilu 2024.

Politik gentong babi merupakan istilah yang muncul pada masa perbudakan di Amerika Serikat (AS). Dalam konteks politik saat ini, politik gentong babi adalah cara berpolitik menggunakan uang negara.

Pada film Dirty Vote disebutkan, anggaran bansos menjelang pemilu 2024 berlebihan, karena pada Januari pemerintah sudah menghabiskan anggaran Rp 78,06 triliun.

Adapun, politik kerah yang dimaksud Mahfud adalah para pejabat pemerintah hingga aparat desa, termasuk tokoh masyarakat “dipegang” untuk mendukung salah satu pasangan calon, jika tidak terancam dipecat atau masuk penjara atas kasus hukum yang membelitnya.
Pada kesempatan itu, Mahfud juga menyinggung MK yang tidak independen atau bisa diintervensi kekuasaan. Hal ini tercermin pada Putusan MK Nomor Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres.

Putusan itu menjadi pintu masuk bagi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai cawapres dari Prabowo Subianto, meski usianya belum memenuhi syarat untuk menjadi capres/cawapres, yakni 40 tahun.

“MK sudah terbukti sah dan meyakinkan meloloskan Gibran dengan melanggar etik dan tak masuk akal,” ujarnya.

Ia pun menuturkan pengalamannya saat menjadi Ketua MK pada era SBY. Menurut dia, kala itu SBY tidak pernah mengintervensi.

Ia juga tidak pernah bertemu empat mata dengan SBY. Jika bertemu, ujarnya, pasti akan bersama hakim konstitusi yang lain.

Terkait hasil pilpres 2024, Mahfud secara tegas mengatakan, tidak puas dengan perolehan suara dirinya bersama capres Ganjar Pranowo.

“Tidak puas, tidak terprediksi sama sekali karena fakta di lapangan kami turun sambutan masyarakat besar. Hasil survei internal besar, tapi memang tidak mungkin satu putaran, dua putaran, dan kami masuk,” ujarnya.

Tapi, di lapangan suaranya dan Ganjar dikuras karena terjadi kecurangan. Bahkan, kecurangan itu terjadi di daerah asalnya di Madura, Jawa Timur. Itu, antara lain surat suara sudah dicoblos sebelum pemungutan suara, pemilih mencoblos di TPS tempatnya tidak terdaftar, dan ada pemilih yang mencoblos surat suara lebih dari sekali.

“Kalau ini terbukti, hasil pemilu bisa dibatalkan,” kata Mahfud.

Lebih lanjut dikatakannya, bisa atau tidaknya hasil pemilu dibatalkan oleh MK, antara lain harus didukung bukti yang cukup, kehadiran saksi, dan keberanian hakim MK mengambil keputusan.

Mahfud menambahkan, kekisruhan Sistem Rekapitulasi Suara (Sirekap) yang dikembangkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya mengecoh agar masyarakat mempersoalkan angka-angka pada aplikasi tersebut.

Padahal, angka Sirekap itu tidak digunakan di pengadilan. Data yang digunakan pada sengketa pemilu adalah data manual yang ada pada formulir. (*)

Tulisan Terkait

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *