Headline

Percepatan Realisasi Belanja Pemerintah Dorong Pemulihan Ekonomi

0

Kerjha — Percepatan realisasi belanja pemerintah pada semester dua dinilai mampu mendorong pemulihan daya beli masyarakat yang turun akibat pandemi Covid-19.

Bahkan, menurut Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, langkah percepatan juga  makin meningkatkan kredibilitas kebijakan stimulus pemerintah, terutama bagi investor asing.

“Karena itu, kami berharap adanya percepatan realisasi belanja pemerintah pada semester II 2020,” ujar Budi melalui keterangan tertulis.

Kementerian Keuangan mencatat defisit anggaran negara hingga akhir Mei 2020 sebesar Rp 179,6 triliun, setara dengan 1,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sebelumnya, target defisit anggaran negara direncanakan mencapai 6,3 persen dari PDB. Realisasi belanja negara 2020 tercatat baru mencapai Rp 43,9 triliun dari total target Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sesuai Perpres Nomor 72 Tahun 2020 sebesar Rp 2.739,16 triliun.

Secara rinci, total anggaran perlindungan sosial yang sudah didistribusikan pemerintah mencapai 34,1 persen dari total anggaran. Sementara, realisasi anggaran kesehatan hanya sekitar 4,68 persen dari total pagu anggaran Rp 87,55 triliun.

Rendahnya realisasi anggaran kesehatan ini disebabkan adanya kendala teknis seperti keterlambatan pengajuan klaim, verifikasi tenaga kesehatan dan kendala administrasi lainnya.

Belum optimalnya realisasi anggaran belanja dinilai akan mengakibatkan pertumbuhan uang beredar (M1 growth), sebagai acuan daya beli secara moneter, Indonesia lebih rendah dibandingkan negara lainnya. Pertumbuhan M1 Indonesia pada Mei 2020 tumbuh 9,65 persen dibanding setahun lalu. Memang lebih tinggi dibandingkan angka rata-rata 5 persen.

Meskipun begitu pertumbuhan ini tak menonjol dibandingkan negara-negara lain, seperti Amerika Serikat 33 persen, Uni Eropa 12 persen, Brasil 32 persen, India 17 persen dan Turki 83 persen. Bahkan, negara tetangga seperti Filipina melaju dengan 26 persen.

Budi menilai pertumbuhan daya beli melalui insentif fiskal ini sangat penting untuk mengompensasi pelemahan daya beli yang selama ini berasal dari peningkatan harga komoditas primer. Selama tahun berjalan, harga komoditas CPO, batu-bara dan karet anjlok sekitar 23 persen.

Menurut Budi, perlambatan pertumbuhan M1 berisiko menahan pertumbuhan kredit  agar pertumbuhan ekonomi lebih gesit. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Mei menunjukkan, pertumbuhan kredit hanya tumbuh 3,04 persen yoy. Ini angka terendah sejak 1998.

Budi bilang, realisasi stimulus yang lebih cepat dan efektif merupakan katalis penting bagi pasar modal hingga akhir tahun. (PUT)

Tulisan Terkait

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *