Headline

RUU Cipta Kerja: Melangsingkan Obesitas Regulasi Kita

0

Kerjha — Banyak investor yang kerap merasa pening saat harus berinvestasi di Indonesia. Berhadapan dengan regulasi yang terlalu rumit, kadang mereka merasa tak efisien dalam menjalankan usaha.

Bayangkan saja, menurut data dari Kementerian Dalam Negeri, jumlah regulasi di pemerintah pusat dan pemerintah daerah mencapai 43.603 aturan. Saking gendutnya regulasi ini, satu sama lain kerap saling bertumpang tindih.

Alhasil, perizinan dan kemudahan berusaha di Indonesia dinilai semerawut. Untuk memulai dan menjalankan usaha dirasa tak gampang.

Berdasarkan survei EoDB 2020, indikator memulai usaha Indonesia berada pada ranking 140 dari 190 negara. Sementara di ASEAN, Indonesia menempati ranking tujuh dari 10 negara.

Atas dasar itulah, pemerintah berikhtiar menyederhanakan regulasi yang over obesitas tadi melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

Dalam RUU Cipta Kerja terdapat 80 pasal terkait investasi dan perizinan berusaha, 19 pasal terkait perizinan lahan, 16 pasal terkait investasi pemerintah dan proyek strategis nasional, dan 15 pasal tentang UMKM dan koperasi.

Selain itu, terdapat 11 pasal terkait kemudahan berusaha, lima pasal terkait ketenagakerjaan, empat pasal terkait kawasan ekonomi, dan tiga pasal terkait pengawasan dan sanksi.

Melalui RUU ini setidaknya terdapat 79 undang-undang dan 1.203 pasal yang berusaha disederhanakan. Dirancang dengan menggunakan metode omnibus law, RUU Cipta Kerja ingin menyasar penciptaan lapangan kerja, peningkatan kompetensi pencari kerja dan kesejahteraan pekerja, peningkatan produktivitas pekerja, serta peningkatan investasi.

Bayangkan saja bila 79 undang-undang tadi dibahas satu per satu. Berapa lama Indonesia membutuhkan waktu untuk menghasilkan regulasi yang singset tapi memiliki daya dongkrak ekonomi yang efektif.

Tak percaya? Mari kita tengok isu perizinan berusaha saat ini:

Pertama, tidak membedakan kompleksitas kegiatan usaha, semua wajib memiliki izin.

Kedua, tidak ada perbedaan persyaratan perizinan antar skala usaha.

Ketiga, kebijakan pengaturan investasi, termasuk prosedur perizinannya, diatur tersebar di berbagai undang-undang sektor.

Keempat, tumpang tindih pengaturan antarsektor (duplikasi perizinan dan inter locking).

Kelima, belum semua proses perizinan dilayani secara elektronik dan/atau belum diintegrasikan ke sistem OSS. Proses ini masih banyak dilakukan secara manual alias tatap muka.

Lewat RUU Cipta Kerja, regulasi itu berusaha disederhanakan biar semakin praktis. Begini kira-kira urutannya:

Pertama, menetapkan satu mekanisme jenis perizinan berusaha untuk seluruh sektor yaitu dengan pendekatan berbasis risiko. Di sini kewajiban memiliki izin hanya diterapkan untuk kegiatan usaha dengan risiko tinggi dan mendorong penerapan standar dalam pelaksanaan operasional usaha.

Kedua, penyederhanaan prosedur/birokrasi dalam proses bisnis penerbitan perizinan berusaha.

Ketiga, peningkatan fungsi pengawasan dengan memperhatikan risiko kegiatan usaha dan kepatuhan penerapan standar.

Keempat, mengonsolidasikan semua kebijakan pengaturan investasi di dalam Undang-Undang Penanaman Modal serta pengaturan bidang usaha yang lebih terbuka dan prioritas.

Kelima, penerapan sanksi administratif sebagai alternatif dalam proses pemberian sanksi.

Keenam, pengaturan kembali kewenangan dalam perizinan berusaha.

Ketujuh, mendorong seluruh proses perizinan berusaha dilakukan secara elektronik dan terintegrasi melalui sistem OSS.

Sementara pada perizinan berusaha sektoral diusulkan ketentuan dengan mengikuti level risiko kegiatan usaha:

Pertama, risiko rendah. Di sini perizinan berusaha cukup dengan registrasi (NIB).

Kedua, risiko menengah. Di sini perizinan berusaha diatur dalam bentuk komitmen penerapan standar usaha (sertifikat standar).

Ketiga, risiko tinggi. Di sini perizinan berusaha diatur dalam bentuk persetujuan pemerintah (izin).

Sedangkan intensitas pelaksanaan pengawasan ditentukan dengan memperhatikan level risiko usaha dan dikaitkan dengan tingkat kepatuhan pelaku usaha dalam memenuhi standar usaha.

Melalui langkah ini setidaknya akan menghasilkan efisiensi waktu dan biaya pengurusan perizinan berusaha bagi pelaku usaha. Selain itu sumber daya pemerintah yang terbatas juga akan terfokus terhadap kegiatan dengan risiko tinggi.

Melalui RUU ini, kebijakan strategis juga akan ditujukan untuk memulihkan dan memperbaiki perekonomian nasional, terutama pada masa pandemi dan pascapandemi Covid-19. (PUT)

Tulisan Terkait

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *