Berita

Bawaslu Catat 266 Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu

0

Kerjha — Sejak tahapan awal pemilihan umum (pemilu) 2024 hingga Rabu (13/3), telah terjadi 266 pelanggaran kode etik penyelenggara. Kategori ini merupakan yang terbanyak di antara kategori pelanggaran lainnya.

Hal tersebut diungkapkan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja dalam diskusi yang diadakan Forum Merdeka Barat 9 dengan tema Mengawal Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilu di Jakarta, Rabu (13/3).

“Untuk pelanggaran hukum lainnya terdapat 140 pelanggaran, ini termasuk netralitas Aparat Sipil Negara (ASN). Kita bisa lihat ya pada kampanye lalu, beberapa ASN menyampaikan dukungannya terhadap paslon atau partai tertentu” ujar Rahmat Bagja.

Lebih lanjut, Rahmat Bagja menjelaskan, sebanyak 71 pelanggaran administrasi telah terbukti. Kemudian, untuk 63 pelanggaran pidana, hampir setengahnya terbukti dan berlanjut ke proses penyidikan.

Hingga saat ini, menurut Rahmat Bagja, Bawaslu telah menerima 1.500 laporan dari masyarakat, dan 700 data pelanggaran merupakan temuan Bawaslu.

Pada kesempatan itu, Rahmat Bagja menyoroti pemungutan suara ulang di Kuala Lumpur, Malaysia. Pemungutan suara di Malaysia terpaksa diulang karena tujuh petugas pemungutan suara luar negeri melakukan penggelembungan daftar pemilih tetap dan sudah ditetapkan menjadi tersangka.

Dia menegaskan, hal ini merupakan pidana khusus sehingga tidak diatur di KUHP. Karena itu dalam waktu tujuh hari kerja sudah harus ada putusan.

“Kasus yang ada di Kuala Lumpur adalah kasus perubahan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ini menyangkut perubahan DPT tanpa mengikuti prosedur yang diatur undang-undang. Ini yang kemudian didakwakan kepada tujuh petugas PPLN,” jelasnya.

Selain kasus di Kuala Lumpur, Rahmat Bagja mengungkapkan bahwa sebelumnya juga ada pelanggaran pidana lain yang dilakukan penyelenggara pemilu. Ia menyayangkan proses hukum atas kasus tersebut terhenti.

Kasus pelanggaran pidana lain itu terkait dengan DPT. Ini berkaitan dengan proses rekruitmen panitia pemutakhiran data pemilih, kemudian kasus tersebut berhenti karena yang bersangkutan mengundurkan diri. Selanjutnya, inspektur KPU menganggap tidak ada kerugian atas hal tersebut.

“Ini kemudian yang seharusnya kita pertanyakan kepada KPU, mengapa yang bersangkutan kok mengundurkan diri. Seharusnya diberhentikan secara tidak hormat. Sebab, kalau mengundurkan diri, yang bersangkutan bisa kembali mendaftar buat menjadi penyelenggara pemilu. Padahal, kami sudah wanti-wanti kepada KPU, hal seperti ini harus diselesaikan karena hal-hal teknis seperti ini yang mengakibatkan banyak hal,” tuturnya. (*)

Tulisan Terkait

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *