Berita

Perlu Regulasi untuk Hindari Diskresi Anggaran Bansos

0

Kerjha ― Ekonom Universitas Indonesia (UI), Vid Adrison mengatakan, diperlukan regulasi untuk menghindari terjadinya personifikasi dan diskresi anggaran bantuan sosial (bansos) oleh pemerintah, khususnya pada tahun pemilihan umum (pemilu).

Menurut Vid, regulasi yang mengatur penyaluran bansos di tahun pemilu sangat diperlukan untuk menghindari kebijakan anggaran yang diselubungi kepentingan elektoral.

Hal ini didasarkan pada kajian Vid yang dipaparkan saat menjadi saksi ahli dalam persidangan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi.

Kajian itu berjudul “Dampak dari Bansos terhadap Perolehan Suara Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 02 dalam Pemilihan Umum Presiden Indonesia Tahun 2024.”

Dalam kajian tersebut, Vid mengupas tentang Jokowi effect dan bansos effect yang membuat suara pasangan calon (paslon) nomor urut 2 melambung hingga 58 persen, sehingga pilpres 2024 hanya berlangsung satu putaran.

Berdasarkan kajian atas kunjungan yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke 30 kabupaten/kota dan membagikan bantuan selama periode 22 Oktober 2023 sampai 1 Februari 2024, terlihat ada korelasi dengan kenaikan perolehan suara paslon nomor urut 2.

Adapun kenaikan perolehan suara paslon nomor urut 2 di pilpres 2024 cukup signifikan, dibandingkan perolehan suara Prabowo saat pilpres 2019. Hal itu terutama terjadi di daerah yang intensif dikunjungi Jokowi selama masa kampanye, misalnya di wilayah Jawa Tengah.

“Rata-rata kenaikan suara paslon 2 sebesar 32 persen, di mana kenaikan terkecil sekitar 6,39 persen, dan terbesar 66,38 persen. Jadi kunjungan Jokowi efektif meningkatkan suara Prabowo di pemilu 2024,” ungkap Vid.

Ia memaparkan, estimasi penambahan elektoral Prabowo karena dukungan kunjungan Jokowi dan pembagian bansos di 30 wilayah tercatat mencapai 26.615.945 suara.

Adapun angka tersebut diperoleh dari jumlah suara di 30 kabupaten/kota yang dikunjungi Jokowi sambil membagikan bansos, dikonversikan dengan total suara paslon 2 yang mencapai 96.214.691 suara dan dibagi dengan daftar pemilih tetap (DPT).

Jumlah suara Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka jika tanpa efek kunjungan Jokowi dan pembagian bansos diperkirakan hanya 42,38 persen, atau berbeda 16,21 persen dari jumlah suara yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar 58,59 persen.

“Ternyata kalau tanpa ada Jokowi plus bansos effect, perolehan suara Prabowo-Gibran sekitar 42,38 persen. Saya verifikasi dengan hasil survei Charta Politika ternyata hasilnya juga 42,2 persen. Itu hasil survei dari 4 Januari sampai 11 Januari 2024. Saya sumpah ya ketika saya melakukan kajian ini saya tidak melihat hasil Charta Politika dan setelah melakukan verifikasi hasilnya kebetulan sama, sumpah demi Allah, ini luar biasa,” kata Vid, dalam tayangan Speak Up di YouTube Channel Abraham Samad, dipantau Senin (8/4).

Vid menyampaikan, ke depan sangat penting bagi Indonesia untuk memiliki regulasi yang mengatur kebijakan anggaran, termasuk untuk bansos yang disalurkan di tahun pemilu.

Dia meyakini, kunjungan dan pembagian bansos yang dilakukan petahana merupakan faktor serius yang mempengaruhi keadilan dalam pemilu, sehingga perlu diatur dengan regulasi agar tidak memberi ruang untuk intervensi incumbent.

“Orang bisa bilang bahwa pak Jokowi kan sudah enggak ikut pilpres lagi. Tapi dia ikut mempengaruhi dengan menggunakan instrumen-instrumen kebijakan publik, anggaran bansos dan sebagainya,” ujar Vid.

Selain itu, keikutsertaan inner circle atau keluarga terdekat, seperti suami, istri, dan anak dari petahana dalam pemilu maupun pilkada perlu diatur kembali.

Menurut Vid, suami, istri atau anak petahana harus dilarang atau tidak boleh ikut dalam kontestasi pemilu dan pilkada selama petahana masih menjabat. Pasalnya, hal itu akan memicu intervensi petahana dalam proses penyelenggaraan pemilu.

“Maka, ke depan tampaknya urgen bagi kita bahwa inner circle atau yang punya hubungan dengan presiden, katakanlah anak presiden, istri presiden, tidak boleh langsung ikut kontestasi pemilu karena itulah yang akan memicu proses intervensi dengan menggunakan semua infrastruktur publik atau sarana publik,” tutur Vid.

Menurut dia, aturan yang membatasi keikutsertaan anggota keluarga petahana aktif dalam kontestasi pemilu merupakan jalan untuk membatasi berkembangnya politik dinasti di Indonesia.

“Ketika kita tidak membatasi politik dinasti ini, efeknya seperti sekarang, yang harusnya pilpres mungkin bisa jadi dua putaran,” ungkap Vid.

Dia menambahkan, sebenarnya anggaran diskresi cenderung meningkat pada tahun pemilu. Namun paling tinggi terjadi di negara-negara berkembang.

Hal itu, disebabkan di negara-negara berkembang dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah, biasanya kecenderungan masyarakat memilih petahana yang memberikan bantuan sangat tinggi.

Itu sebabnya regulasi terkait hal ini harus ada untuk mengunci kemungkinan penggunaan anggaran diskresi yang memberikan keuntungan kepada petahana atau calon yang didukung petahana di pemilu.

“Anggaran bansos itu berasal dari pajak masyarakat, jadi jangan digunakan untuk kepentingan elektoral. Artinya, tidak boleh dipersonalisasikan oleh pemerintah, khususnya petahana. Jadi, harus ada regulasi untuk mengurangi kemungkinan penggunaan anggaran untuk kepentingan elektoral, termasuk untuk bansos,” kata Vid. (Foto: FB Presiden Joko Widodo)

Tulisan Terkait

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *