Berita

Hak Angket Bisa Putuskan Pemilu Diulang

0

Kerjha — Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, anggota DPR RI bisa memutuskan pemilu 2024 tidak sah, harus diulang serta mendiskualifikasi pasangan calon (paslon).

Menurut dia, jika paslon nomor urut 2 didiskualifikasi berdasarkan keputusan DPR, keputusan itu harus dijalankan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sedangkan, paslon yang akan berkompetisi hanya dua, yakni paslon nomor urut 1 dan paslon nomor urut 3.

“DPR bisa memutuskan pemilu diulang tanpa harus melalui proses ke Mahkamah Konstitusi (MK), karena merupakan keputusan DPR sebagai institusi,” ujar Bivitri saat diwawancara mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad pada Podcast Speak Up yang tayang di kanal Youtube, Minggu (3/3).

Dia menegaskan, hasil hak angket bisa dua kemungkinan, yakni DPR merekomendasikan pemilu ulang karena terbukti terdapat kecurangan secara terstruktur, sistematif, dan massif (TSM) serta pemakzulan presiden. Namun, untuk memakzulkan presiden tidak cukup hanya rekomendasi, namun harus dilanjutkan ke hak menyatakan pendapat (interpelasi) dan dibawa ke MK.

Jika MK menyatakan presiden bersalah, maka MPR akan menggelar sidang.
Tapi, untuk memberhentikan presiden harus memenuhi kourum, yakni 2/3 dari anggota harus hadir dan dari yang hadir harus ada persetujuan 2/3 anggota.

Pemeran film dokumenter Dirty Vote ini mendorong agar parpol menggulirkan hak angket untuk membuat terang benderang dugaan kecurangan pemilu sejak dari masa sebelum pemungutan suara hingga setelah pemungutan suara.

Dia menekankan tujuan hak angket bukan untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan bukan untuk menjegal Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, melainkan untuk mencegah terjadinya kecurangan-kecurangan pada pemilu berikutnya.

Lebih lanjut, Bivitri mengatakan, dugaan kecurangan TSM telah muncul pascapemilu pada Orde Baru, tetapi belum pernah terbukti. Bobot dugaan kecurangan pemilu pada tahun ini luar biasa besar, dibandingkan kecurangan pada pemilu-pemilu sebelumnya. Hal ini, misalnya, terbukti pada lembaga MK.

“Kita bukan mau menjegal paslon tertentu, tetapi untuk mengoreksi presiden sebagai pemeang kekuasaan tetinggi di negeri ini, seakan-akan bisa saja presiden melakukan politik gentong babi, bagi-bagi bansos. Ini merusak demorasi, maka hak angket harus dilaksanakan untuk membuat terang TSM,” bebernya.

Dia mengingatkan, jangan sampai budaya feodal dilestarikan, menganggap presiden seperti seorang raja, dikultuskan serta bisa melakukan abuse of power yang pada akhirnya akan memunculkan otokratisme.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera ini mengatakan, otokratisme berlangsung pada masa pemerintahan Jokowi karena pemimpin tidak bisa dicek atau diawasi. Padahal, demokrasi yang baik adalah adanya oposisi di dalam menjalankan pemerintahan.

“Hak angket bisa saja tidak sampai ke pengadilan tapi proses politik harus ada, kekuasaan itu harus bisa diawasi, ini poin penting dalam demokrasi,” tukasnya.

Bivitri menuturkan, presiden bisa dibawa ke persidangan bila diduga melakukan penyuapan, korupsi, dan perbuatan tercela, sehingga tidak ada impunitas.

Pada kesempatan itu, Bivitri yakin bahwa hak angket akan bergulir di DPR, karena syarat untuk menggulirkan tidak terlalu berat, yakni diteken oleh 25 anggota DPR dari dua fraksi.

“Saya yakin terbentuk seperti 2009, lakukan saja dulu, gulirkan. Masalah nanti di ujungnya tidak merekomendasikan sesuatu, ya tidak masalah. Biarkan itu berproses yang penting kita bangunkan DPR dari tidur yang kelamaan,” katanya.

Dia juga menyentil anggota DPR sudah cukup lama tidak memanfaatkan hak angket, karena cenderung meloloskan apa yang diinginkan pemerintah di DPR seperti revisi UU KPK, UU Minerba hingga UU Cipta Kerja.

Tapi, Bivitri mengungkap kekhawatirannya atas dua parpol yakni Partai NasDem dan PKB. Dia melihat dua parpol ini masih goyang atau belum solid terkait usulan hak angket.

“Saya sejujurnya tidak yakin mereka konsisten, karena manuver untuk membuat koalisi pemerintahan yang baru sudah dilakukan. Tapi saya masih punya harapan sepanjang dorongan dari masyarakat sipil juga kuat dan benar-benar kita berikan beban sejarah kepada mereka. Ingatkan bahwa jika mereka tidak mendukung hak angket, ya mereka sudah teruji kebobrokannya, hanya menanti supaya dikasih kursi dalam pemerintahan yang baru,” tuturnya.

Jika empat parpol solid mengusung hak angket, suara yang pro-angket akan mayoritas, terdiri atas PDI Perjuangan 128 kursi, Partai NasDem 59 kursi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 52 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 58 kursi, sehingga total ada 292 kursi.

Sementara itu, di pihak pemerintah ada Partai Golkar 85 kursi, Partai Gerindra 78 kursi, Partai Amanat Nasional (PAN) 44 kursi, Partai Demokrat 54 kursi, sehingga jumlah seluruhnya sebanyak 261 kursi. (*)

Tulisan Terkait

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *